Dan berfirman Allah Ta’ala: “Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.”
Penjelasan:
Ayat ini (QS. Al-Ankabut: 43) menegaskan bahwa perumpamaan-perumpamaan yang Allah berikan dalam Al-Qur’an bukanlah sekadar cerita atau metafora biasa. Kandungan dan hikmah di baliknya hanya dapat dipahami secara mendalam oleh orang-orang yang memiliki ilmu. Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin seringkali menekankan pentingnya ilmu sebagai kunci untuk memahami hakikat kebenaran, termasuk kebenaran-kebenaran yang disampaikan melalui perumpamaan. Beliau menjelaskan bahwa ilmu adalah cahaya yang menerangi hati, memungkinkan seseorang melihat makna tersembunyi yang tidak dapat dijangkau oleh akal sehat semata tanpa bimbingan ilmu. Ilmu dalam konteks ini bukan hanya pengetahuan faktual, tetapi juga pemahaman yang mendalam tentang hikmah dan tujuan syariat.
Teks Bahasa Arab
I’rob per kata (bahasa)
Arti Kata
وَقَالَ
(Fi’il Madhi) dan berkata/berfirman
Dan berfirman
تَعَالَى
(Fi’il Madhi) Maha Tinggi
Maha Tinggi (Allah)
﴿وَلَوْ
(Waw athof, Harf Syarat) dan jika/sekiranya
Dan sekiranya
رَدُّوهُ
(Fi’il Madhi + Dhomir) mereka mengembalikannya
mereka mengembalikannya
إِلَى
(Harf Jar) kepada
kepada
الرَّسُولِ
(Isim) Rasul
Rasul
وَإِلَى
(Waw athof, Harf Jar) dan kepada
dan kepada
أُولِي
(Isim, majrur dengan ya’) pemilik
pemilik
الْأَمْرِ
(Isim) urusan/kekuasaan
urusan/kekuasaan
مِنْهُمْ
(Min Jar + Dhomir) dari mereka
dari mereka
لَعَلِمَهُ
(Lam jawab, Fi’il Madhi + Dhomir) tentulah mereka mengetahuinya
Dan berfirman Allah Ta’ala: “Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan kepada Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin menggali (hukumnya) dari mereka akan mengetahuinya (apa yang sebenarnya).”
Teks Bahasa Arab
I’rob per kata (bahasa)
Arti Kata
رَدَّ
(Fi’il Madhi) mengembalikan
Mengembalikan
حُكْمَهُ
(Isim + Dhomir) hukumnya
hukumnya
فِي
(Harf Jar) dalam
dalam
الْوَقَائِعِ
(Isim) kejadian-kejadian/peristiwa-peristiwa
kejadian-kejadian/peristiwa-peristiwa
إِلَى
(Harf Jar) kepada
kepada
اسْتِنْبَاطِهِمْ
(Mashdar + Dhomir) istinbath mereka/pengambilan kesimpulan mereka
pengambilan kesimpulan mereka
وَأَلْحَقَ
(Waw athof, Fi’il Madhi) dan menyertakan/menyamakan
Dia (Allah) mengembalikan hukumnya dalam peristiwa-peristiwa kepada istinbath (pengambilan kesimpulan hukum) mereka, dan menyamakan derajat mereka dengan derajat para Nabi dalam menyingkap hukum Allah.
Penjelasan: Ayat ini (QS. An-Nisa: 83) menunjukkan pentingnya peran Ulil Amri (pemegang kekuasaan/ulama) yang memiliki kemampuan istinbath (menggali dan menyimpulkan hukum). Allah memerintahkan untuk mengembalikan permasalahan yang pelik kepada Rasulullah SAW (pada masanya) atau kepada Ulil Amri yang ahli dalam istinbath. Ini berarti bahwa tidak semua orang mampu memahami hukum-hukum Allah secara langsung, melainkan membutuhkan para ahli ilmu yang memiliki kemampuan tersebut. Dalam konteks ini, Imam Al-Ghazali sangat menghargai peran ulama yang mendalam ilmunya. Beliau menjelaskan bahwa Ulama yang hakiki, yang memahami syariat secara komprehensif dan mampu mengaplikasikannya dalam berbagai situasi baru, adalah pewaris para Nabi. Mereka memiliki tanggung jawab besar untuk membimbing umat dan menyingkap hukum-hukum Allah yang tersembunyi dalam kitab suci dan sunnah Nabi. Kedudukan mereka, meskipun tidak sama dengan kenabian, sangat mulia karena meneruskan misi kenabian dalam membimbing manusia.
Dan dikatakan mengenai firman Allah Ta’ala: “Wahai anak cucu Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu,” maksudnya adalah ilmu; “dan perhiasan (untuk memperindah),” maksudnya adalah keyakinan; “dan pakaian takwa,” maksudnya adalah rasa malu.
Penjelasan: Ayat ini (QS. Al-A’raf: 26) secara lahiriah berbicara tentang pakaian fisik, namun tafsiran yang disebutkan di sini memberikan makna batiniah yang dalam. “Pakaian untuk menutupi auratmu” diartikan sebagai ilmu, karena ilmu menjaga kehormatan dan martabat manusia dari kebodohan dan kesalahan. “Perhiasan” diartikan sebagai keyakinan (yakin), karena keyakinan yang kuat adalah keindahan batin yang menghiasi jiwa. “Pakaian takwa” diartikan sebagai rasa malu (haya’), karena rasa malu adalah pangkal segala kebaikan dan menjaga seseorang dari perbuatan dosa. Imam Al-Ghazali dalam karyanya sangat menekankan keterkaitan antara ilmu, keyakinan, dan akhlak mulia seperti rasa malu. Beliau menjelaskan bahwa ilmu yang sejati akan menghasilkan keyakinan yang kokoh (yaqin), dan keyakinan ini pada gilirannya akan membuahkan ketakwaan dan akhlak yang mulia. Rasa malu, menurut Al-Ghazali, adalah salah satu benteng utama yang mencegah manusia dari perbuatan mungkar, sehingga ia menjadi inti dari “pakaian takwa” yang sesungguhnya.
Teks Bahasa Arab
I’rob per kata (bahasa)
Arti Kata
وَقَالَ
(Fi’il Madhi) dan berkata/berfirman
Dan berfirman
عَزَّ
(Fi’il Madhi) Maha Perkasa
Maha Perkasa
وَجَلَّ
(Waw athof, Fi’il Madhi) dan Maha Agung
dan Maha Agung
﴿وَلَقَدْ
(Waw athof, Lam taukid, Harf Tahqiq) dan sungguh benar-benar
Dan sungguh benar-benar
جِئْنَاهُمْ
(Fi’il Madhi + Dhomir) Kami telah mendatangkan kepada mereka
Kami telah mendatangkan kepada mereka
بِكِتَابٍ
(Ba Jar + Isim) dengan sebuah Kitab
dengan sebuah Kitab
فَصَّلْنَاهُ
(Fi’il Madhi + Dhomir) yang Kami jelaskan secara rinci
Dan sesungguhnya Dia menyebutkan itu dalam konteks pemberian nikmat (karunia).
Penjelasan: Bagian ini mengumpulkan beberapa ayat yang secara eksplisit menunjukkan posisi sentral ilmu dalam ajaran Islam dan sebagai karunia Allah.
QS. Hud: 6: “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allahlah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” Ayat yang disebutkan dalam teks adalah QS. Al-An’am: 105 “Dan demikianlah Kami jelaskan ayat-ayat (Kami), dan agar orang-orang kafir mengatakan, “Engkau telah mempelajari (ilmu dari ahli Kitab),” dan agar Kami menjelaskan Al-Qur’an kepada kaum yang mengetahui.” Kesalahan penulisan ayat dalam input. Ayat yang lebih tepat adalah QS. Al-An’am: 105 yang berbunyi, “Dan demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat (Kami), dan agar orang-orang kafir mengatakan, “Engkau telah mempelajari (ilmu dari ahli Kitab),” dan agar Kami menjelaskan Al-Qur’an kepada kaum yang mengetahui.” Ayat ini menekankan bahwa penjelasan Kitab (Al-Qur’an) didasarkan pada ilmu Allah yang sempurna.
QS. Al-A’raf: 7: “Maka sesungguhnya akan Kami ceritakan kepada mereka dengan ilmu.” Ayat ini menegaskan bahwa segala peristiwa yang akan terjadi atau telah terjadi akan diceritakan oleh Allah dengan pengetahuan-Nya yang mutlak. Ini menunjukkan cakupan dan kedalaman ilmu Allah.
QS. Al-Ankabut: 49: “Bahkan Al-Qur’an itu adalah ayat-ayat yang jelas di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu.” Ayat ini meninggikan derajat orang-orang yang berilmu, menjadikan dada mereka sebagai wadah bagi ayat-ayat Allah yang jelas. Ini menunjukkan bahwa ilmu Al-Qur’an bukan hanya hafalan, tetapi pemahaman yang mendalam yang menetap dalam hati.
QS. Ar-Rahman: 3-4: “Dia menciptakan manusia, Dia mengajarnya berbicara (menjelaskan).” Ini adalah salah satu nikmat terbesar yang Allah karuniakan kepada manusia, yaitu kemampuan untuk belajar dan mengkomunikasikan ilmu melalui bayan (penjelasan).
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin secara konsisten menggarisbawahi bahwa ilmu adalah karunia ilahi yang paling agung. Beliau menjelaskan bahwa ilmu adalah sifat Allah (`alim), dan manusia diberi kemampuan untuk memperoleh sebagian dari sifat tersebut. Kemampuan untuk memahami, menjelaskan, dan membedakan kebenaran dari kebatilan adalah anugerah yang membedakan manusia dari makhluk lain. Al-Ghazali juga mengaitkan ilmu dengan hikmah, di mana ilmu yang bermanfaat akan menuntun pemiliknya kepada kebijaksanaan dan kedekatan dengan Allah. Mengingat ilmu dalam konteks ini adalah bagian dari ” امتنان” (pemberian karunia), Al-Ghazali mengajak manusia untuk senantiasa bersyukur atas karunia ilmu ini dengan menggunakannya untuk kebaikan, mendekatkan diri kepada Allah, dan memberi manfaat bagi sesama.