Penjelasan: Ali bin Abi Thalib, salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW dan khalifah keempat, adalah sosok yang sangat dihormati dalam Islam. Pernyataannya tentang keutamaan ilmu dan ulama memiliki bobot besar dan sering dijadikan rujukan. Ali dikenal sebagai gerbang kota ilmu, sebagaimana sabda Nabi SAW: “Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya.”
Orang yang berilmu lebih utama dari orang yang berpuasa, shalat malam, dan berjihad. Dan apabila seorang alim meninggal, maka terjadilah lubang dalam Islam yang tidak akan dapat ditutup kecuali oleh pengganti darinya.
Penjelasan: Pernyataan ini menekankan superioritas ilmu dan ulama. Puasa, shalat malam, dan jihad adalah ibadah yang agung, namun ilmu memiliki dimensi yang lebih luas karena ia tidak hanya bermanfaat bagi individu pelakunya, tetapi juga bagi seluruh umat. Seorang alim (orang yang berilmu) membimbing masyarakat, menjelaskan syariat, dan menjaga kemurnian agama. Ketiadaan ulama, atau “lubang” yang disebabkan kematian mereka, adalah kerugian besar bagi Islam karena mereka adalah pewaris para nabi yang melanjutkan tugas penyampaian risalah. Kerusakan yang ditimbulkan oleh kematian seorang alim bisa berupa kehilangan arah umat, penyebaran kebodohan, dan masuknya bid’ah. Oleh karena itu, hanya ulama lain yang sepadan yang dapat mengisi kekosongan tersebut.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin sangat menekankan pentingnya ilmu dan keutamaan ulama. Beliau menggolongkan ulama sebagai “pelita bumi” dan “pewaris para nabi.” Al-Ghazali menjelaskan bahwa ilmu adalah cahaya yang membimbing manusia kepada Allah dan membedakan antara yang hak dan yang batil. Kematian seorang ulama sejati, menurut Al-Ghazali, adalah musibah besar karena mereka adalah penjaga syariat dan penunjuk jalan bagi umat. Mereka tidak hanya mengajarkan teori, tetapi juga membimbing dalam praktik dan moralitas (akhlak). Oleh karena itu, usaha untuk menghasilkan ulama penerus adalah kewajiban kolektif (fardhu kifayah) bagi umat Islam.
Teks Bahasa Arab
I’rob per kata (bahasa)
Arti Kata
وَقَالَ
(Fi’il Madhi) dan (Fa’il dhamir mustatir)
Dan berkata
رَضِيَ
(Fi’il Madhi)
Semoga ridho
اللَّهُ
(Fa’il)
Allah
عَنْهُ
(Jar Majrur)
darinya
نَظْمًا
(Hal)
dalam bentuk nazham (syair)
Kalimat Arab dengan harokat
Arti dalam bahasa indonesia
وَقَالَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ نَظْمًا
Dan berkata Ali radhiyallahu ‘anhu dalam bentuk syair:
Penjelasan: Ali bin Abi Thalib juga dikenal memiliki kemampuan dalam bersyair. Syair-syairnya seringkali mengandung hikmah dan motivasi.
Tidak ada kemuliaan (sejati) kecuali bagi ahli ilmu, sesungguhnya mereka … adalah penunjuk jalan di atas petunjuk bagi siapa saja yang meminta petunjuk.
Penjelasan: Bait ini menegaskan bahwa kemuliaan sejati, atau kebanggaan yang hakiki, bukanlah pada harta, kedudukan, atau keturunan, melainkan pada ilmu. Orang-orang yang berilmu (ulama) adalah pembimbing dan penunjuk arah bagi mereka yang mencari kebenaran. Mereka adalah “obor” yang menerangi jalan kehidupan, menyingkap kegelapan kebodohan dan kesesatan. Tanpa bimbingan mereka, umat akan tersesat.
Imam Al-Ghazali, dalam berbagai karyanya, termasuk Ihya Ulumuddin, berulang kali menekankan bahwa ilmu yang paling mulia adalah ilmu yang mengantarkan kepada ma’rifatullah (mengenal Allah) dan membimbing manusia pada jalan kebenaran. Beliau menganggap ulama sejati adalah mereka yang tidak hanya menguasai ilmu tetapi juga mengamalkannya dan membimbing umat dengan akhlak mulia. Mereka adalah pewaris para nabi yang tugasnya melanjutkan risalah Ilahi, yaitu menyampaikan petunjuk dan kebenaran kepada manusia.
Dan nilai setiap orang adalah apa yang ia kuasai dengan baik, … dan orang-orang bodoh adalah musuh bagi ahli ilmu.
Penjelasan: Bait ini menyatakan bahwa harga diri dan nilai seseorang ditentukan oleh pengetahuannya atau keahliannya. Semakin tinggi ilmunya, semakin tinggi pula nilainya di mata Allah dan manusia yang berakal. Sebaliknya, orang-orang bodoh seringkali memusuhi ahli ilmu. Kebodohan seringkali melahirkan kesombongan, iri hati, dan penolakan terhadap kebenaran yang dibawa oleh ilmu. Orang bodoh merasa terancam oleh orang berilmu karena ilmu menyingkap kelemahan mereka dan menantang pandangan mereka yang keliru.
Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin juga membahas tentang bahaya kebodohan dan orang-orang yang menentang ilmu. Beliau menjelaskan bahwa kebodohan adalah penyakit hati yang paling berbahaya, yang dapat menjerumuskan seseorang ke dalam kesesatan dan menjauhkannya dari Allah. Orang-orang yang membenci ilmu atau ulama sejati, menurut Al-Ghazali, adalah mereka yang hatinya telah dikuasai hawa nafsu dan keangkuhan. Mereka lebih memilih mengikuti tradisi nenek moyang atau pandangan sendiri daripada menerima kebenaran yang berdasarkan dalil dan akal sehat.
Maka raihlah ilmu, niscaya engkau akan hidup abadi dengannya. … Manusia (lain) adalah orang-orang mati, sedangkan ahli ilmu adalah orang-orang yang hidup.
Penjelasan: Bait terakhir ini merupakan ajakan dan motivasi untuk mencari ilmu. Dengan ilmu, seseorang akan hidup abadi, bukan dalam arti fisik, tetapi dalam arti bahwa warisan ilmunya akan terus memberikan manfaat bahkan setelah kematiannya. Nama dan ajarannya akan dikenang dan diikuti oleh generasi selanjutnya. Sedangkan orang-orang yang tidak memiliki ilmu, atau tidak mewariskan ilmu, dianggap “mati” dalam arti spiritual dan intelektual, karena tidak ada jejak berarti yang mereka tinggalkan untuk kemaslahatan umat. Ilmu memberikan kehidupan yang sesungguhnya karena ia menerangi hati, memberikan pemahaman, dan membimbing kepada kebenaran.
Dalam Ihya Ulumuddin, Imam Al-Ghazali menguraikan secara mendalam tentang “kehidupan” dan “kematian” hati. Hati yang hidup adalah hati yang tercerahkan oleh ilmu dan ma’rifatullah, sedangkan hati yang mati adalah hati yang gelap oleh kebodohan, hawa nafsu, dan dosa. Ilmu, menurut Al-Ghazali, adalah nutrisi bagi hati, yang membuatnya hidup dan berkembang. Para ulama sejati adalah mereka yang menghidupkan hati mereka dan hati orang lain melalui ilmu dan bimbingan mereka. Warisan mereka, yaitu ilmu, akan terus mengalir pahalanya dan manfaatnya sepanjang masa, sehingga mereka benar-benar “hidup” abadi dalam catatan sejarah dan hati orang-orang beriman.