Abu Al-Aswad berkata: “Tidak ada sesuatu yang lebih mulia dari ilmu. Para raja adalah penguasa atas manusia, dan para ulama adalah penguasa atas para raja.”
Penjelasan: Perkataan Abu Al-Aswad ini menyoroti ketinggian derajat ilmu dan ulama. Ilmu menempatkan seseorang pada posisi yang mulia, bahkan lebih mulia dari kekuasaan duniawi. Para ulama, dengan ilmu yang mereka miliki, memiliki otoritas moral dan intelektual yang bahkan dapat membimbing dan mengoreksi para penguasa. Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin, khususnya dalam Kitab Ilmu, sangat menekankan pentingnya ilmu sebagai jalan menuju Allah dan kebahagiaan abadi. Beliau menjelaskan bahwa ilmu adalah cahaya yang membimbing manusia dari kegelapan kebodohan menuju kebenaran. Dalam pandangan Al-Ghazali, ulama sejati adalah mereka yang ilmunya diikuti dengan ketakwaan dan amal shalih, sehingga mereka menjadi pewaris para nabi dalam membimbing umat.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Sulaiman bin Daud ‘alaihimassalam diberi pilihan antara ilmu, harta, dan kekuasaan, lalu ia memilih ilmu, maka ia diberi harta dan kekuasaan bersamanya.”
Penjelasan: Kisah Nabi Sulaiman ini mengilustrasikan keutamaan ilmu di atas segalanya. Dengan memilih ilmu, Nabi Sulaiman tidak hanya mendapatkan apa yang ia pilih, tetapi juga dianugerahi hal-hal lain yang sebelumnya ia tinggalkan, yaitu harta dan kekuasaan. Ini menunjukkan bahwa ilmu adalah kunci untuk meraih kebaikan dunia dan akhirat. Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin sering kali mengemukakan bahwa ilmu, khususnya ilmu yang bermanfaat dan mendekatkan diri kepada Allah, adalah sebaik-baik karunia. Ilmu memungkinkan seseorang untuk mengenal Tuhannya, memahami syariat-Nya, dan mengelola kehidupan dengan bijaksana. Sebagaimana Nabi Sulaiman, seorang yang berilmu akan memiliki hikmah dalam mengelola harta dan kekuasaan, sehingga semuanya menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan justru menjauhkan.
Ibnu Al-Mubarak ditanya: “Siapakah manusia (sesungguhnya)?” Ia menjawab: “Para ulama.” Dikatakan: “Siapakah para raja (sesungguhnya)?” Ia menjawab: “Para zahid.” Dikatakan: “Siapakah orang-orang rendah (hina)?” Ia menjawab: “Orang-orang yang mencari dunia dengan agama.”
Penjelasan: Jawaban Ibnu Al-Mubarak ini memberikan definisi yang mendalam tentang siapa yang patut disebut “manusia sejati,” “raja sejati,” dan “orang rendah.” Ia menempatkan para ulama sebagai “manusia” karena merekalah yang mewujudkan esensi kemanusiaan melalui ilmu dan hikmah. Para zahid (orang-orang yang tidak terikat pada dunia) disebut “raja” karena mereka memiliki kekayaan batin dan kemerdekaan dari hawa nafsu duniawi yang melebihi kekuasaan lahiriah para raja. Sementara itu, “orang-orang rendah” adalah mereka yang menyalahgunakan agama untuk kepentingan duniawi. Imam Al-Ghazali sangat mengkritik ulama su’ (ulama jahat) yang menggunakan ilmu mereka untuk mengumpulkan kekayaan atau kedudukan duniawi, seperti yang dijelaskan dalam Ihya Ulumuddin. Beliau menekankan bahwa ilmu haruslah menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk mencari keuntungan duniawi. Para zahid, dalam pandangan Al-Ghazali, adalah teladan dalam melepaskan diri dari belenggu dunia, sehingga hati mereka bebas untuk fokus pada akhirat.
Ia tidak menjadikan selain orang berilmu sebagai manusia; karena kekhususan yang membedakan manusia dari seluruh hewan adalah ilmu.
Penjelasan: Paragraf ini mengukuhkan pandangan bahwa ilmu adalah esensi kemanusiaan. Tanpa ilmu, manusia tidak berbeda jauh dari hewan. Ilmu adalah karunia ilahi yang memampukan manusia untuk berpikir, merenung, memahami, dan mengenal Tuhannya, yang tidak dimiliki oleh makhluk lain. Dalam Ihya Ulumuddin, Al-Ghazali menjelaskan bahwa tujuan penciptaan manusia adalah untuk mengenal Allah (ma’rifatullah) dan beribadah kepada-Nya. Ilmu adalah sarana utama untuk mencapai tujuan ini. Tanpa ilmu, manusia akan hidup dalam kegelapan kebodohan dan tidak mampu memenuhi tujuan penciptaannya. Oleh karena itu, mencari ilmu menjadi kewajiban bagi setiap Muslim, karena dengan ilmu itulah manusia dapat mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan sejati.
Maka manusia adalah manusia dengan apa yang ia mulia karenanya, dan itu bukan dengan kekuatan dirinya; karena unta lebih kuat darinya. Bukan pula dengan ukurannya; karena gajah lebih besar darinya. Bukan pula dengan keberaniannya; karena binatang buas lebih berani darinya. Bukan pula dengan makannya; karena sapi jantan lebih lebar perutnya darinya. Bukan pula untuk bersetubuh; karena burung pipit yang paling hina lebih kuat dalam bersetubuh darinya. Bahkan, ia tidak diciptakan kecuali untuk ilmu.
Penjelasan: Paragraf ini merincikan bahwa kemuliaan manusia tidak terletak pada aspek fisik atau naluriah yang juga dimiliki, bahkan seringkali dilebihi, oleh hewan. Kekuatan, ukuran, keberanian, nafsu makan, dan kemampuan reproduksi adalah sifat-sifat yang tidak secara eksklusif menjadikan manusia mulia. Sebaliknya, yang membedakan dan memuliakan manusia adalah kemampuannya untuk berilmu dan memahami. Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin secara konsisten menekankan bahwa akal dan ilmu adalah karunia terbesar Allah kepada manusia, yang membedakannya dari makhluk lain. Ilmu inilah yang memungkinkan manusia untuk mencapai kesempurnaan spiritual, mengenal Allah, dan memahami tujuan keberadaannya. Oleh karena itu, seluruh potensi manusia, baik fisik maupun mental, seharusnya diarahkan untuk mendukung pencarian dan pengamalan ilmu, karena pada hakikatnya, manusia diciptakan untuk tujuan ini.