Kabar terbaru datang dari istana, di mana Presiden Prabowo Subianto memiliki rencana besar untuk menjadikan Papua sebagai pusat swasembada energi. Salah satu strateginya adalah dengan menanam kelapa sawit untuk bahan bakar minyak (BBM). Namun, rencana ini mendapatkan catatan tebal dari Senayan, khususnya dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang mewanti-wanti agar niat baik ini nggak malah jadi musibah ekologis bagi alam cenderawasih.
Rencana Presiden Prabowo Subianto untuk mendorong Papua agar mampu menghasilkan energi secara mandiri memang terdengar sangat visioner. Beliau menginginkan agar ketergantungan pasokan BBM dari luar daerah bisa dihentikan, sehingga harga energi di Papua menjadi jauh lebih terjangkau bagi masyarakat. Target yang dipasang pun cukup ambisius: dalam lima tahun ke depan, semua daerah harus bisa berdiri di atas kaki sendiri dalam hal pangan dan energi. Selain memanfaatkan teknologi tenaga surya dan air (hidro) untuk daerah terpencil, Presiden juga melirik potensi tanaman seperti tebu, singkong, dan kelapa sawit untuk diolah menjadi bahan bakar nabati. Jika skenario ini berjalan mulus, negara diprediksi bisa menghemat anggaran hingga ratusan triliun rupiah karena nggak perlu impor BBM lagi.
Akan tetapi, di balik optimisme tersebut, ada kekhawatiran serius yang disuarakan oleh Bapak Daniel Johan, Anggota Komisi IV DPR RI yang juga menjabat sebagai Ketua DPP PKB. Beliau menyoroti dampak lingkungan yang mungkin timbul jika pembukaan lahan sawit ini dilakukan secara serampangan. Jenengan pasti paham, Papua itu ibarat benteng terakhir hutan hujan tropis dan ekologi Indonesia. Bapak Daniel mengingatkan pemerintah untuk belajar dari pengalaman pahit di Sumatera dan Aceh, di mana alih fungsi hutan secara masif telah memicu banjir bandang dan krisis lingkungan yang merugikan rakyat kecil. Beliau menegaskan, jangan sampai pembukaan hutan baru—apalagi di wilayah pegunungan dan Daerah Aliran Sungai (DAS)—malah mengundang bencana longsor di masa depan.
Solusi yang ditawarkan oleh politisi PKB ini sebenarnya sangat masuk akal dan berbasis data. Menurut Bapak Daniel, untuk mengejar target energi dari minyak nabati, pemerintah sebaiknya fokus memaksimalkan potensi lahan yang sudah ada atau existing. Saat ini, tercatat ada lebih dari 16 juta hektare lahan sawit, ditambah lagi lahan-lahan bermasalah yang sudah diinventarisir dan diambil alih negara oleh Satgas. Nah, lahan-lahan inilah yang semestinya dioptimalkan produktivitasnya. Jadi, kemandirian energi itu penting, tapi nggak boleh dibayar dengan kerusakan lingkungan permanen dan penderitaan masyarakat adat Papua. Pembangunan harus berjalan beriringan dengan kajian lingkungan yang ketat dan perlindungan terhadap tata ruang wilayah adat.
Dari perspektif praktis, kita bisa melihat bahwa keseimbangan antara kemajuan ekonomi dan kelestarian alam adalah harga mati yang tidak bisa ditawar. Kayak-nya kita semua sepakat bahwa alam ciptaan Gusti Allah ini adalah amanah yang harus dijaga, bukan sekadar objek eksploitasi demi keuntungan sesaat. Jika hutan Papua rusak, dampaknya bukan hanya dirasakan oleh masyarakat lokal, tapi juga keseimbangan iklim nasional. Oleh karena itu, masukan dari PKB ini patut menjadi pertimbangan serius bagi pemerintah agar kebijakan swasembada energi ini benar-benar membawa berkah, bukan musibah.
Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca ulasan singkat ini, rekan-rekanita sekalian. Mari kita terus kawal kebijakan pemerintah dengan sikap kritis namun tetap santun, demi kebaikan bangsa dan kelestarian bumi pertiwi. Sampai jumpa di tulisan selanjutnya.
Sumber: detik.com