Belakangan ini, jagat Nahdliyin sedang dibuat pusing dengan dinamika internal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Kabar tentang dualisme kepemimpinan menyeruak ke permukaan, membuat kita bertanya-tanya tentang soliditas jam’iyah. Bukan sekadar desas-desus, analisis terbaru dari Soleh Basyari, Direktur Eksekutif CSIIS, menyebutkan bahwa apa yang terjadi sekarang ini seolah memutar ulang kaset lama sejarah konflik PKB belasan tahun silam.
Dalam kacamata Soleh, ketegangan antara kubu Rais Aam/Syuriyah dengan kubu Ketua Umum Tanfidziyah saat ini bukanlah fenomena baru yang mengejutkan. Jika jenengan amati lebih jeli, struktur konfliknya benar-benar mirip atau bisa dibilang copy-paste dari perseteruan legendaris tahun 2008 antara Gus Dur (Dewan Syuro) melawan Muhaimin Iskandar (Tanfidz).
Secara kelembagaan, kemiripan ini memang nggak bisa dibantah. Di PKB ada Dewan Syuro, di PBNU ada Rais Aam. Di partai ada Ketua Dewan Tanfidz, di jam’iyah ada Ketua Umum Tanfidziyah. Secara AD/ART, posisi dan kewenangannya sebelas dua belas. Dulu, Gus Dur sebagai Ketua Dewan Syuro memecat Muhaimin, namun Muhaimin melawan. Hari ini, skenario yang sama persis terjadi di PBNU: jajaran Syuriyah melakukan langkah “pemecatan” atau pembekuan, dan Gus Yahya pun mengambil sikap melawan.
Soleh memberikan peringatan yang cukup tajam soal aspek hukum. Berkaca dari pengalaman masa lalu, upaya Syuriyah untuk melengserkan Ketua Umum Tanfidziyah seringkali kandas di meja hijau. Kenapa bisa begitu? Karena posisi Ketua Umum adalah mandataris Muktamar. Gus Yahya dipilih langsung oleh Muktamirin di Lampung, sama sahnya dengan Muhaimin kala itu. Jadi, secara hukum negara, pemecatan yang hanya melalui rapat pleno Syuriyah punya celah besar untuk digugat dan dimenangkan kembali oleh pihak Tanfidziyah.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah potensi lahirnya “Muktamar Kembar”. Jenengan pasti ingat tragedi Muktamar Ancol vs Muktamar Parung, bukan? Dualisme seperti itu sangat mungkin terjadi lagi jika Gus Yahya terdesak dan bermanuver ke Kemenkumham untuk mendapatkan legalitas baru, kayak langkah cerdik Cak Imin dulu. Kalau ini sampai kejadian, energi NU akan habis hanya untuk urusan administrasi kekuasaan.
Selain masalah struktur, Soleh juga menyoroti pemicu konflik yang dinilai bersifat materiil, yakni perebutan “ghonimah” atau konsesi tambang. Situasi ini diibaratkan seperti Perang Uhud, di mana pasukan menjadi kacau balau dan kalah karena sibuk berebut harta rampasan sebelum perang benar-benar usai. Elit-elit kita seolah lupa pada core business NU yang sejatinya adalah moralitas, dan malah terjebak pada perebutan sumber daya duniawi yang sifatnya sementara.
Analisis ini tentu menjadi pil pahit bagi kita semua. Situasi ini ibarat pepatah “menang jadi arang, kalah jadi abu”. Siapapun yang menang dalam pertarungan elit ini, entah kubu Kiai Zulfa Mustofa atau Gus Yahya, yang menjadi korban sebenarnya adalah marwah NU itu sendiri. Publik di luar sana nggak segan menertawakan organisasi yang seharusnya bicara soal moral bangsa, tapi elitnya malah saling menjatuhkan demi kekuasaan dan materi.
Sebagai santri dan warga Nahdliyin, tentu kita berharap ada jalan islah, meskipun analisis Soleh menyebut hal itu nyaris mustahil saat ini. Namun, harapan nggak boleh putus. Mari kita doakan agar para masyaikh dan pengurus diberikan hidayah untuk kembali pada khittah pengabdian yang tulus. Bagaimana menurut jenengan, rekan-rekanita? Apakah sejarah kelam PKB itu benar-benar akan menjadi takdir PBNU hari ini? Terima kasih sudah menyimak ulasan ini.
Sumber: inilah.com