Aqidah merupakan pondasi utama dalam beragama yang sangat penting ditanamkan, bahkan sebelum anak-anak menginjak usia mukallaf. Jika jenengan perhatikan suasana di masjid atau mushola kampung, terutama basis NU, lantunan nazham aqidah sering menggema sebagai pujian sebelum shalat. Nah, untuk melengkapi hafalan tersebut dengan pemahaman mendalam namun ringan, hadir sebuah kitab prosa (kalam natsar) berjudul Tijanud Darari yang merupakan syarah atau penjelasan dari risalah tauhid.
Biasanya, anak-anak kita di Madrasah Diniyah atau TPQ lebih akrab dengan Aqidatul Awam karena bentuknya yang nazham atau puisi sehingga mudah dihafalkan sambil didendangkan. Namun, Tijanud Darari ini menawarkan pendekatan yang sedikit berbeda tapi tetap ramah bagi pemula. Kitab ini adalah buah karya ulama besar kebanggaan Nusantara, Syekh Muhammad Nawawi Banten, yang mensyarahi (menjelaskan) risalah tauhid karya Syekh Ibrahim al-Bajuri. Jadi, kalau Aqidatul Awam itu versinya puisi, kitab ini adalah versi prosanya yang lebih rinci menjelaskan apa dan bagaimana aqidah itu harus tertanam di hati.

Mari kita kenalan sebentar dengan penulis risalah aslinya, yakni Syekh Burhanuddin Abi Ishaq Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad al-Bajuri, atau yang masyhur disapa Syekh al-Bajuri. Beliau bukan ulama sembarangan, lho. Beliau adalah Syaikhul Azhar ke-19. Lahir di Mesir Utara pada tahun 1783 M, beliau menghabiskan usianya untuk ngaji dan mengajar. Istilah santrinya, hidup beliau habis untuk ber-ifadah (memberi faedah ilmu) dan ber-istifadah (mengambil faedah ilmu). Saking alimnya, beliau dikenal sebagai pecinta Ahlul Bait dan sosok yang lisannya nggak pernah kering dari zikir. Karya beliau pun banyak sekali, lebih dari 20 kitab yang rampung ditulis, mencakup berbagai fan ilmu dari tauhid hingga fiqih.
Lantas, kenapa risalah aqidah ini ditulis? Berdasarkan mukadimahnya, Syekh al-Bajuri menulis risalah ringkas ini karena permintaan salah satu “saudaranya”—yang dalam tradisi keilmuan biasanya merujuk pada muridnya. Murid tersebut meminta dibuatkan ringkasan sifat-sifat Allah dan Rasul-Nya yang wajib diketahui setiap Muslim. Karena permintaan tulus inilah, lahir sebuah tulisan yang sangat sistematis. Teks aslinya berbunyi, “Sebagian saudaraku meminta… untuk menulis risalah ringkas yang memuat sifat-sifat wajib bagi-Nya… Lalu saya memenuhi permintaan tersebut.” Sederhana, tapi dampaknya luar biasa sampai sekarang.
Dalam Tijanud Darari, Syekh Nawawi Banten menjabarkan risalah tersebut dengan gaya yang sangat “menggurui” dalam arti positif. Pembahasannya dibagi menjadi tiga topik besar: ketuhanan (ilahiyyat), kenabian (nubuwwat), dan bagian penutup (khatimah) yang membahas hal-hal sam’iyyat seperti telaga Nabi, nasab, hingga putra-putri Rasulullah SAW.
BELI KITAB TIJANUD DARORI DISINI https://s.shopee.co.id/40ZZOuRktS
Yang membuat kitab ini asik dipelajari adalah sistematikanya. Jenengan tidak akan diajak berputar-putar dengan dialektika filsafat yang rumit. Polanya jelas: sebutkan sifat wajib, sebutkan lawannya (mustahil), beri definisinya, lalu sertakan dalil aqli (logika) yang simpel. Contohnya saat membahas sifat Wujud. Disebutkan bahwa Allah wajib bersifat Wujud (Ada), lawannya adalah ‘Adam (Tiada), dan dalilnya adalah adanya alam semesta ini. Logika yang dibangun Syekh Nawawi sangat cespleng: kalau alam ini ada, pasti ada yang membuat, karena mustahil sesuatu yang baru muncul dengan sendirinya tanpa pencipta.
Selain itu, Syekh Nawawi Banten sangat telaten dalam mendefinisikan istilah-istilah teknis. Beliau sadar betul bahwa pembacanya mungkin orang awam atau santri pemula. Istilah seperti “Wajib”, “Mustahil”, dan “Ja’iz” dikupas tuntas beserta contohnya. Misalnya, “Wajib” akal didefinisikan sebagai sesuatu yang nggak mungkin tidak ada (seperti Dzat Allah). Sedangkan “Mustahil” adalah sesuatu yang nggak mungkin ada (seperti adanya sekutu bagi Allah). Penjelasan semacam ini sangat membantu kita yang kadang suka bingung membedakan hukum akal dan hukum syara’.
Melihat strukturnya yang rapi, kitab ini sebenarnya sangat ideal untuk dijadikan kurikulum dasar di pesantren atau madrasah diniyah. Materinya padat, nggak bertele-tele, dan mudah dicerna logika orang awam sekalipun. Bagi jenengan yang ingin memperkuat fondasi tauhid keluarga atau santri, kitab ini bisa jadi jembatan yang kokoh sebelum melangkah ke kitab-kitab tebal lainnya.
Bisa kita pahami bahwa mempelajari aqidah tidak harus selalu dengan kening berkerut. Melalui Tijanud Darari, kita diajak menyelami keesaan Allah dengan cara yang sistematis dan menenangkan hati. Metode penulisan Syekh al-Bajuri yang kemudian disyarah oleh Syekh Nawawi Banten membuktikan betapa pedulinya para ulama terdahulu terhadap pemahaman umat. Rekan-rekanita sekalian, mari kita lestarikan khazanah keilmuan ini dengan mengkajinya kembali di majelis-majelis kita. Terima kasih sudah membaca ulasan ini, semoga aqidah kita semakin kuat dan lurus.