Polemik di tubuh PBNU hari ini sepertinya bukan cuma soal perbedaan pendapat, tapi sudah masuk ke ranah teknis Digdaya Persuratan, sebuah sistem tata kelola administrasi digital yang mendadak jadi sorotan utama. Singkatnya, persoalan ini adalah benturan instruksi resmi antara Rais Aam yang ingin menyetop sementara sistem ini, melawan Ketua Umum yang bersikukuh mempertahankannya demi keberlanjutan transformasi digital jam’iyah.
Kalau jenengan mengikuti alurnya, ketegangan ini bermula saat Rais Aam PBNU, KH Miftachul Akhyar, merasa perlu mengambil langkah tegas. Pada tanggal 1 Desember 2025, beliau menerbitkan Surat Instruksi Nomor 4795/PB.23/A.ΙΙ.08.07/99/12/2025. Surat yang ditandatangani beliau sendirian ini intinya memerintahkan Amin Said Husni—selaku Wakil Ketua Umum Bidang OKK sekaligus Pengarah Tim Transformasi Digital—untuk melakukan penangguhan atau moratorium terhadap Digdaya Persuratan Tingkat PBNU.
Alasannya cukup serius. Kiai Miftach mendasarkan instruksi ini pada Hasil Keputusan Rapat Harian Syuriyah tanggal 20 November 2025 dan keterangan pers beliau sebelumnya. Rasanya, beliau ingin ada investigasi mendalam dulu. Makanya, dalam surat itu ditegaskan bahwa implementasi sistem digital ini harus berhenti sampai Tim Pencari Fakta selesai bekerja. Konsekuensinya berat, lho. Semua surat yang “kadung” diproduksi lewat sistem Digdaya sejak tanggal instruksi itu keluar, dinyatakan tidak sah oleh Rais Aam.
“Dengan demikian, maka semua surat Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dan/atau Lembaga dan Badan Khusus di Lingkungan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama yang diterbitkan melalui platform Digdaya Persuratan setelah tanggal diterbitkannya Surat instruksi Rais Aam sebagaimana dimaksud adalah tidak sah,” begitu bunyi Surat Edaran yang ditandatangani KH Miftachul Akhyar.
Nggak berhenti di situ, eskalasi berlanjut pada 16 Desember 2025. Rais Aam kembali mengeluarkan surat, kali ini berupa Surat Edaran (SE) Nomor 4820. Bedanya, surat ini nggak cuma ditandatangani Kiai Miftach, tapi juga melibatkan jajaran yang disebut sebagai “Kelompok Sultan”, seperti Prof M Nuh sebagai Katib Aam, KH Zulfa Mustofa sebagai Pj Ketum, dan H Saifullah Yusuf (Gus Ipul) sebagai Sekjen.
Di sini jenengan bisa melihat betapa proseduralnya langkah yang diambil. Surat Edaran ini merujuk pada banyak sekali aturan organisasi, mulai dari Pasal 14 dan 18 Anggaran Dasar (AD), deretan pasal di Anggaran Rumah Tangga (ART), sampai berbagai Peraturan Perkumpulan (Perkum) tentang Rapat, Pemberhentian Fungsionaris, hingga Penyelesaian Perselisihan Internal. Intinya, SE ini mempertegas bahwa Digdaya Persuratan dibekukan karena adanya dugaan penyimpangan tata kelola sejak Oktober 2025.
Dampaknya apa? Surat Edaran itu mengatur prosedur baru yang lebih manual dan terpusat. Penerbitan surat PBNU, Lembaga, maupun Badan Khusus harus dikoordinasikan langsung oleh Sekretariat Jenderal di bawah Gus Ipul. Stempel digital Peruri Tera pun harus lewat Sekjen. Kalau ada lembaga yang nekat bikin surat tanpa prosedur ini alias masih pakai sistem lama tanpa koordinasi, ya otomatis dianggap nggak sah. Surat ini bahkan ditembuskan ke menteri-menteri terkait hingga Direktur Utama Peruri, seolah ingin memastikan pemblokiran akses secara sistemik.
Tapi, jenengan jangan kira ini selesai di situ. Di hari yang sama, 16 Desember 2025, kubu “Kelompok Kramat” alias pihak KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) langsung merespons dengan Surat Penegasan dan Sanggahan bernomor 4900. Surat ini ditandatangani Gus Yahya bareng Rais Syuriyah KH A Mu’adz Thohir, Katib Aam KH Akhmad Said Asrori, dan Wasekjen H Najib Azca.
Argumen Gus Yahya dan timnya sangat kuat secara konstitusi organisasi. Menurut mereka, keputusan Rapat Harian Syuriyah yang dipakai alasan untuk memberhentikan Gus Yahya itu cacat hukum. Kenapa? Karena menurut mereka, pemberhentian Mandataris Muktamar (Ketua Umum terpilih) itu cuma bisa dilakukan lewat forum Muktamar, bukan rapat harian. Jadi, secara logika hukum mereka, kalau pemberhentiannya saja nggak sah, maka segala produk turunannya—termasuk moratorium Digdaya ini—juga batal demi hukum.
Gus Yahya juga menegaskan posisi beliau masih sah di mata negara, merujuk pada SK Kemenkumham Nomor AHU-0001097.AH.01.08 Tahun 2024. Bahkan, surat sanggahan itu menyerang balik legalitas tanda tangan Prof M Nuh dan KH Zulfa Mustofa di surat kubu sebelah, karena nama mereka dianggap tidak tercantum dalam SK Kemenkumham yang berlaku.
Bagi Gus Yahya, mematikan Digdaya Persuratan itu langkah mundur. Beliau menyebut sistem ini adalah instrumen vital transformasi digital NU. Kalau ini dihentikan, sama saja membawa jam’iyah mundur ke era abad kesatu dan merusak tatanan organisasi (nidham al-jamiyyah). Makanya, Gus Yahya meminta seluruh jajaran pengurus di semua tingkatan, dari Wilayah sampai Cabang Istimewa di luar negeri, untuk tetap tenang dan nggak terpengaruh manuver yang beliau sebut inkonstitusional tersebut.
Melihat situasi yang sebegitunya rumit, jenengan sebagai warga Nahdliyin tentu bisa merasakan betapa kencangnya tarik-ulur legitimasi ini. Di satu sisi ada otoritas tertinggi syuriyah, di sisi lain ada mandat tanfidziyah hasil Muktamar. Bagi rekan-rekanita sekalian, sebaiknya kita tetap berpegang pada akal sehat dan aturan main organisasi yang baku. Konflik elite biarlah diselesaikan lewat mekanisme konstitusional yang bermartabat, entah itu lewat forum hukum atau Muktamar nanti. Yang jelas, pelayanan umat dan transformasi teknologi nggak boleh jadi korban ego sektoral. Mari kita doakan para kiai kita menemukan jalan islah terbaik. Terima kasih sudah menyimak ulasan yang agak njelimet ini.
Sumber: NU Online