Zaman sekarang ini rasanya nggak ada batasan lagi soal informasi. Teknologi berkembang cepat banget, sampai-sampai anak kecil yang harusnya main kelereng atau lalaran nadhom, sekarang malah lebih jago scroll layar. Artikel kali ini bakal mengajak jenengan merenungi fenomena anak-anak dan gadget, ditinjau dari kacamata medis serta nasihat mendalam dari Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali.
Coba jenengan perhatikan sekeliling, atau mungkin di lingkungan keluarga sendiri. Tangan-tangan mungil itu sekarang menggenggam pintu menuju dunia luar yang nggak ada saringannya. Di layar itu ada pameran gaya hidup hedon, kata-kata pisuhan yang kasar, sampai hiburan yang bikin candu. Padahal, dunia digital itu aslinya hutan belantara yang harusnya cuma dimasuki orang dewasa yang sudah akil baligh secara mental. Tapi faktanya? Anak-anak yang belum paham hakikat hidup malah jadi penikmat utamanya.
Miris rasanya kalau melihat anak-anak hari ini lebih akrab sama layar ponsel ketimbang menyapa tetangga atau sowan ke sanak famili. Mereka lebih gampang ketawa lihat video pendek berdurasi 15 detik daripada merespons panggilan orang tuanya sendiri. Jenengan mungkin juga merasa, kok komentar netizen asing lebih didengar daripada petuah bapak-ibunya? Perlahan tapi pasti, masa kanak-kanak mereka seperti dicuri, menyisakan kekosongan jiwa yang bahaya banget buat masa depan.
Para peneliti modern di Barat sana sebenarnya sudah wanti-wanti. Ahli dari Johns Hopkins Medicine menyebut kalau medsos bisa bikin mental anak ambyar. Risikonya nggak main-main: stres, cemas berlebih, insecure alias kurang percaya diri, sampai susah fokus. Belum lagi laporan dari American Academy of Pediatrics yang bilang kalau anak gampang banget terpapar konten yang nggak senonoh, kekerasan, sampai pornografi. Ini jelas merusak “kabel-kabel” emosional dan moral mereka. Istilah kerennya sekarang, mereka rentan kena cyberbullying dan kecanduan layar yang bikin mereka jadi makhluk antisosial.
Nah, kalau kita tarik ke ranah agama, peringatan para ahli medis itu sebenarnya klop banget sama prinsip Islam. Anak itu amanah, bukan sekadar aset lucu-lucuan buat diposting di story. Jenengan pasti sepakat kalau anak akan tumbuh sesuai apa yang kita tanam. Kalau yang menanam benih di kepalanya adalah algoritma medsos, ya jangan kaget kalau panennya nanti nggak sesuai harapan.
Hujjatul Islam, Sang Pembela Islam, al-Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali (W. 505 H) dalam kitab legendarisnya, Ihya’ Ulumiddin, memberikan panduan parenting yang dahsyat. Beliau dawuh:
اعْلَمْ أَنَّ الطَّرِيقَ فِي رِيَاضَةِ الصِّبْيَانِ مِنْ أَهَمِّ الْأُمُورِ وَأَوْكَدِهَا والصبيان أَمَانَةٌ عِنْدَ وَالِدَيْهِ وَقَلْبُهُ الطَّاهِرُ جَوْهَرَةٌ نَفِيسَةٌ سَاذَجَةٌ خَالِيَةٌ عَنْ كُلِّ نَقْشٍ وَصُورَةٍ وَهُوَ قَابِلٌ لِكُلِّ مَا نُقِشَ وَمَائِلٌ إِلَى كُلِّ مَا يُمَالُ بِهِ إِلَيْهِ فَإِنْ عُوِّدَ الْخَيْرَ وَعُلِّمَهُ نَشَأَ عَلَيْهِ وَسَعِدَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وشاركه في ثوابه أبوه وَكُلُّ مُعَلِّمٍ لَهُ وَمُؤَدِّبٍ وَإِنْ عُوِّدَ الشَّرَّ وَأُهْمِلَ إِهْمَالَ الْبَهَائِمِ شَقِيَ وَهَلَكَ وَكَانَ الْوِزْرُ في رقبة القيم عليه والوالي له وقد قال الله عز وجل ﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نارًا﴾ وَمَهْمَا كَانَ الْأَبُ يَصُونُهُ عَنْ نَارِ الدُّنْيَا فَبِأَنْ يَصُونَهُ عَنْ نَارِ الْآخِرَةِ أَوْلَى وَصِيَانَتُهُ بِأَنْ يُؤَدِّبَهُ وَيُهَذِّبَهُ وَيُعَلِّمَهُ مَحَاسِنَ الْأَخْلَاقِ وَيَحْفَظَهُ من القرناء السُّوءِ وَلَا يُعِوِّدُهُ التَّنَعُّمَ وَلَا يُحَبِّبُ إِلَيْهِ الزينة والرفاهية فَيَضِيعُ عُمْرُهُ فِي طَلَبِهَا إِذَا كَبِرَ فَيَهْلِكُ هَلَاكَ الْأَبَدِ
| Kalimah | Artinya |
| اعْلَمْ أَنَّ الطَّرِيقَ فِي رِيَاضَةِ الصِّبْيَانِ مِنْ أَهَمِّ الْأُمُورِ وَأَوْكَدِهَا | Ketahuilah, bahwa metode dalam mendidik anak-anak adalah termasuk perkara yang paling penting dan paling ditekankan. |
| والصبيان أَمَانَةٌ عِنْدَ وَالِدَيْهِ وَقَلْبُهُ الطَّاهِرُ جَوْهَرَةٌ نَفِيسَةٌ سَاذَجَةٌ خَالِيَةٌ عَنْ كُلِّ نَقْشٍ وَصُورَةٍ وَهُوَ قَابِلٌ لِكُلِّ مَا نُقِشَ وَمَائِلٌ إِلَى كُلِّ مَا يُمَالُ بِهِ إِلَيْهِ | Anak-anak adalah amanah di sisi kedua orang tuanya, dan hatinya yang suci adalah permata berharga yang polos, kosong dari setiap ukiran dan gambaran, dan dia siap menerima setiap apa yang diukirkan padanya, serta cenderung kepada setiap apa yang dicondongkan kepadanya. |
| فَإِنْ عُوِّدَ الْخَيْرَ وَعُلِّمَهُ نَشَأَ عَلَيْهِ وَسَعِدَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وشاركه في ثوابه أبوه وَكُلُّ مُعَلِّمٍ لَهُ وَمُؤَدِّبٍ | Maka jika dia dibiasakan dengan kebaikan dan diajarkan kepadanya, dia akan tumbuh di atasnya dan berbahagia di dunia dan akhirat, dan ayahnya serta setiap pengajar dan pendidiknya akan turut serta dalam pahalanya. |
| وَإِنْ عُوِّدَ الشَّرَّ وَأُهْمِلَ إِهْمَالَ الْبَهَائِمِ شَقِيَ وَهَلَكَ وَكَانَ الْوِزْرُ في رقبة القيم عليه والوالي له | Dan jika dia dibiasakan dengan keburukan dan diabaikan seperti pengabaian binatang ternak, dia akan celaka dan binasa, dan dosa itu akan berada di pundak pengasuh dan penanggung jawabnya. |
| وقد قال الله عز وجل ﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نارًا﴾ وَمَهْمَا كَانَ الْأَبُ يَصُونُهُ عَنْ نَارِ الدُّنْيَا فَبِأَنْ يَصُونَهُ عَنْ نَارِ الْآخِرَةِ أَوْلَى | Dan sungguh Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Agung telah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” Dan kapanpun seorang ayah menjaganya dari api dunia, maka dengan menjaganya dari api akhirat itu lebih utama. |
| وَصِيَانَتُهُ بِأَنْ يُؤَدِّبَهُ وَيُهَذِّبَهُ وَيُعَلِّمَهُ مَحَاسِنَ الْأَخْلَاقِ وَيَحْفَظَهُ من القرناء السُّوءِ وَلَا يُعِوِّدُهُ التَّنَعُّمَ وَلَا يُحَبِّبُ إِلَيْهِ الزينة والرفاهية فَيَضِيعُ عُمْرُهُ فِي طَلَبِهَا إِذَا كَبِرَ فَيَهْلِكُ هَلَاكَ الْأَبَدِ | Dan perlindungannya adalah dengan mendidiknya, memperbaiki akhlaknya, mengajarkannya kebaikan-kebaikan akhlak, dan menjaganya dari teman-teman yang buruk, serta tidak membiasakannya dengan kenikmatan (kemewahan) dan tidak membuatnya mencintai perhiasan dan kemewahan, sehingga umurnya akan sia-sia dalam mengejarnya ketika ia besar, maka ia akan binasa dengan kebinasaan yang abadi. |
Intinya, Imam Ghazali mengingatkan kita bahwa mendidik anak adalah perkara paling wajib. Hati anak itu ibarat permata (jauhar) yang masih murni, polos, belum ada ukirannya. Jenengan mau ukir jadi apa, itu terserah pemegangnya. Kalau dibiasakan baik, dia bakal jadi ahli surga dan orang tuanya kecipratan pahala. Tapi, kalau dibiarkan liar kayak hewan ternak—dikasih makan doang tapi nggak dididik—maka dosanya bakal nangkring di pundak orang tua.
Beliau juga mengingatkan, kalau kita sibuk menjaga anak dari api dunia (sakit, lapar, miskin), harusnya kita lebih sibuk lagi menjaga mereka dari api akhirat. Caranya? Ajarkan akhlak, jauhkan dari teman (atau tontonan) yang buruk, dan jangan biasakan hidup bermewah-mewahan. Kalau dari kecil sudah diajari cinta dunia dan glamor, habis umur mereka nanti cuma buat ngejar fatamorgana itu.
Dari paparan di atas, jelas sudah bahwa membiarkan anak tenggelam di medsos tanpa pendampingan itu sama saja menyia-nyiakan amanah Tuhan. Nggak cukup cuma kasih makan dan sekolah mahal, tapi pengawasan moral itu fardhu ‘ain hukumnya bagi orang tua. Rekan-rekanita sekalian, menjaga anak di zaman now memang tantangannya berat, tapi ingatlah bahwa apa yang kita tanam hari ini adalah bekal keselamatan kita di masa depan. Mari kita rebut kembali perhatian anak-anak kita dari layar kaca, dan arahkan pandangan mereka kembali kepada nilai-nilai luhur agama dan kemanusiaan. Semoga jenengan semua diberi kekuatan untuk menjaga titipan Illahi ini.