Setiap kali terdengar kabar lelayu wafatnya seorang ulama atau pengasuh pesantren, hati rasanya nyesek luar biasa. Langit serasa runtuh bagi para santri. Tapi, di sela-sela isak tangis dan lantunan tahlil itu, seringkali terselip satu pertanyaan yang nggak berani diucapkan keras-keras: nasib pesantren ini kedepannya gimana? Tulisan ini hadir untuk mengupas kegelisahan tersebut, tentang bagaimana pesantren menjaga napas kehidupannya meski sang pendiri telah kapundut.
Kekhawatiran semacam itu wajar adanya dan bukan tanpa dasar. Jenengan mungkin pernah melihat atau mendengar kisah pesantren yang dulunya megah, santrinya ribuan, tapi perlahan meredup setelah Romo Yai-nya kapundut (wafat). Santri boyong satu per satu, bangunan mulai kusam kayak tak bertuan, dan yang paling bikin sedih, ruh “keilmuan” yang dulu hidup, perlahan hilang. Ini realitas pahit yang harus kita akui bersama.
Namun, dunia pesantren itu unik. Ada juga pesantren yang justru makin moncer meski sudah ditinggal pendirinya, bahkan sudah ganti estafet sampai generasi ketiga atau keempat. Contoh paling nyata ya Pondok Modern Darussalam Gontor. Meskipun Trimurti pendiri—Almaghfurlah KH Ahmad Sahal, KH Zainuddin Fananie, dan KH Imam Zarkasyi—sudah lama berpulang, Gontor tetaplah Gontor yang gagah. Atau lihat Pesantren Darunnajah Jakarta yang cabangnya ada di mana-mana itu. Apa rahasianya? Kenapa mereka bisa tetap exist dan berkembang?
Pesantren di Nusantara ini memang umumnya lahir dari karisma seorang figur. Kiai adalah pusat gravitasi; beliau yang babat alas, mengajar kitab, memimpin jamaah, dan jadi magnet bagi santri dari berbagai penjuru angin. Ini kekuatan dahsyat, tapi di sisi lain, ini juga titik paling rawan. Kalau sistemnya cuma “nempel” di sosok Kiai, begitu beliau wafat, guncangannya bakal terasa banget. Max Weber, sosiolog Jerman itu, menyebut tantangan ini sebagai “rutinisasi karisma”. Bahasanya agak berat, tapi intinya: gimana caranya mengubah kekuatan personal Kiai menjadi kekuatan sistem lembaga. Tanpa proses ini, karisma itu bisa ikut terkubur bersama jasad sang tokoh.
Nah, pesantren-pesantren yang sukses melewati masa transisi kritis ini punya satu kesamaan: mereka membangun sistem, nggak cuma mengandalkan figur semata. Gontor, misalnya, sudah lama mewakafkan diri pada umat. Pesantren bukan milik keluarga ndalem, tapi milik Badan Wakaf. Jadi, siapa pun yang memimpin, rel-nya sudah jelas.
Pola serupa diterapkan oleh para pendiri Darunnajah—Almaghfurlah KH Abdul Manaf Mukhayyar, KH Qomaruzzaman, dan KH Mahrus Amin. Mereka merumuskan apa yang disebut “Fitur Darunnajah”. Sampeyan perlu tahu, fitur ini bukan sekadar aturan tempel dinding, tapi lima pilar hidup pesantren. Pertama, Fikrah (ideologi). Pemikiran Kiai itu harus ditulis dan diajarkan, biar nggak cuma ada di kepala beliau saja. Kedua, Shibgah (identitas/warna). Ini soal karakter santri, cara berpakaian, sampai tradisi harian yang bikin pesantren itu punya ciri khas.
Ketiga, ada Khittah (garis perjuangan). Ini kompasnya. Mau badai kayak apa pun, kalau kompasnya jelas, kapal pesantren nggak akan nyasar. Keempat, Ansyithah (program). Kegiatan itu harus tersistem, ada kurikulumnya, nggak cuma nunggu perintah dadakan. Dan kelima, yang sering kelupaan, adalah Taqyim (evaluasi). Tanpa evaluasi, kita sering merasa sudah benar padahal mungkin sudah melenceng jauh.
Membangun sistem ini sama sekali bukan bentuk ketidakhormatan pada Kiai. Justru, menurut pandangan kami, inilah bentuk penghormatan tertinggi. Kanjeng Nabi Muhammad SAW sendiri adalah teladan terbaik dalam hal ini. Beliau tidak hanya meninggalkan ajaran, tapi membangun sistem komunitas dan menyiapkan kader (sahabat) yang paham visi beliau. Makanya Islam tetap jaya belasan abad setelah beliau wafat.
Jadi, buat jenengan yang aktif mengurus pesantren atau lembaga keagamaan, yuk mulai berbenah. Dokumentasikan dawuh dan visi Kiai, buat tim kolektif yang solid, dan bangun aturan main yang jelas. Jangan biarkan warisan ulama kita redup cuma karena kita malas menata manajemen. Sistem yang kuat adalah cara kita menjaga cahaya ilmu para Kiai agar terus bersinar melintasi zaman.
Membangun sistem bukan berarti kita mau menggantikan peran sentral Kiai dengan mesin birokrasi yang kaku, melainkan menyiapkan wadah agar berkah keilmuan beliau bisa terus mengalir deras. Pesantren yang kuat adalah yang usianya melampaui usia biologis pendirinya. Terima kasih sudah meluangkan waktu membaca refleksi ini, rekan-rekanita. Mari kita jaga pesantren kita masing-masing sebagai benteng terakhir moral bangsa.
* Disadur dari tulisan Muhammad Irfanudin Kurniawan dan Afaf Saifullah Kamalie di NU Online